Ilustrasi kejahatan dunia maya. (Getty Images)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri kembali mengamankan warga negara asing yang melakukan kejahatan di wilayah Indonesia. Dengan kejadian tersebut, Indonesia semakin dicap sebagai salah satu negara yang rawan kejahatan cyber.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Viktor Simanjuntak mengungkapkan anggapan Indonesia rawan kejahatan sebenarnya muncul lantaran perilaku WNA yang sering melakukan kejahatan di sini. Salah satu tempat yang ideal bagi WNA melakukan kejahatan adalah Bali.
"Kami bicara skimming dengan modus penggandaan ATM tapi sekarang pelaku menggunakan router untuk melakukan penyadapan jalur transaksi rekening," ujar Viktor saat ditemui di Bareskrim Polri, Senin (20/4).
"Kejahatan ini banyak dilakukan di Bali dengan korban orang asing dan pelakunya pun orang asing. Jadi Indonesia dianggap tidak aman padahal pelakunya orang mereka (WNA) juga," ujar Viktor.
Kepala Sub Direktorat Cyber Crime Dir Tipideksus Bareskrim Polri Komisaris Besar Rachmad Wibowo mengungkapkan anggapan tersebut sangat mencoreng nama baik Indonesia. Apalagi anggapan tersebut diungkapkan jelang penyelenggaraan The Global Conference on Cyberspace (GCCS) 2015 di Den Haag, Belanda.
Dalam acara tersebut Indonesia mendapat cap sebagai salah satu negara yang sering terjadi aksi kejahatan cyber. "Indonesia mendapat catatan sebagai salah satu negara yang marak dengan aksi kejahatan cyber. Ini membawa dampak buurk bagi citra Indonesia," kata Rachmad.
"Padahal dari sekian banyak kasus yang diungkap pelakunya merupakan WNA," ujarnya menambahkan.
Kasus terbaru adalah ditangkapnya IIT, warga negara Bulgaria yang telah mencuri uang dari sejumlah WNA yang sedang berlibur ke Bali. IIT dibantu ketiga temannya, yang saat ini buron, mengincar WNA lantaran mereka berpotensi tidak akan melakukan pengecekan terhadap rekeningnya setidaknya sampai mereka kembali ke negara masing-masing.
IIT telah melakukan penipuan terhadap 560 WNA yang mayoritas berasal dari Eropa dan pernah berlibur ke Bali. Atas perbuatannya IIT dikenakan Pasal 362, 363, 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 30 jo Pasal 46 atau Pasal 32 jo Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Pasal 3, 4, 5, dan 10 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan hukuman maksimal delapan tahun penjara.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Viktor Simanjuntak mengungkapkan anggapan Indonesia rawan kejahatan sebenarnya muncul lantaran perilaku WNA yang sering melakukan kejahatan di sini. Salah satu tempat yang ideal bagi WNA melakukan kejahatan adalah Bali.
"Kami bicara skimming dengan modus penggandaan ATM tapi sekarang pelaku menggunakan router untuk melakukan penyadapan jalur transaksi rekening," ujar Viktor saat ditemui di Bareskrim Polri, Senin (20/4).
"Kejahatan ini banyak dilakukan di Bali dengan korban orang asing dan pelakunya pun orang asing. Jadi Indonesia dianggap tidak aman padahal pelakunya orang mereka (WNA) juga," ujar Viktor.
Kepala Sub Direktorat Cyber Crime Dir Tipideksus Bareskrim Polri Komisaris Besar Rachmad Wibowo mengungkapkan anggapan tersebut sangat mencoreng nama baik Indonesia. Apalagi anggapan tersebut diungkapkan jelang penyelenggaraan The Global Conference on Cyberspace (GCCS) 2015 di Den Haag, Belanda.
Dalam acara tersebut Indonesia mendapat cap sebagai salah satu negara yang sering terjadi aksi kejahatan cyber. "Indonesia mendapat catatan sebagai salah satu negara yang marak dengan aksi kejahatan cyber. Ini membawa dampak buurk bagi citra Indonesia," kata Rachmad.
"Padahal dari sekian banyak kasus yang diungkap pelakunya merupakan WNA," ujarnya menambahkan.
Kasus terbaru adalah ditangkapnya IIT, warga negara Bulgaria yang telah mencuri uang dari sejumlah WNA yang sedang berlibur ke Bali. IIT dibantu ketiga temannya, yang saat ini buron, mengincar WNA lantaran mereka berpotensi tidak akan melakukan pengecekan terhadap rekeningnya setidaknya sampai mereka kembali ke negara masing-masing.
IIT telah melakukan penipuan terhadap 560 WNA yang mayoritas berasal dari Eropa dan pernah berlibur ke Bali. Atas perbuatannya IIT dikenakan Pasal 362, 363, 406 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 30 jo Pasal 46 atau Pasal 32 jo Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Pasal 3, 4, 5, dan 10 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan hukuman maksimal delapan tahun penjara.
No comments:
Post a Comment